Penting untuk meluruskan pernyataan ini agar tidak muncul klaim atau prasangka buruk terhadap kebijakan sebelumnya. Argumen yang bisa disampaikan adalah bahwa temuan BPK tak menyatakan bahwa pembagian kuota tidak sesuai dengan Undang-Undang, melainkan lebih tepatnya tidak sejalan dengan Peraturan Menteri Agama yang berlaku. Dalam rilisnya, BPK menjelaskan bahwa penetapan kuota per provinsi pada tahun 2022 tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2021, yang menyatakan bahwa beberapa provinsi seharusnya menerima kuota lebih banyak berdasarkan populasi penduduk Muslim mereka.
### Kebijakan Pembagian Kuota: Memahami Aturan dan Realita
Pembagian kuota yang ditetapkan oleh Menteri Agama memang nampaknya sejalan dengan Undang-Undang. Namun, realitas di lapangan menunjukkan ketidaksesuaian dalam implementasi di beberapa daerah. Pasal 13 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2019 menegaskan bahwa pembagian kuota haji reguler harus memperhatikan dua hal: jumlah penduduk Muslim antar provinsi dan proporsi daftar tunggu jemaah haji. Ini perlu dicermati agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai skema pembagian kuota berbasis jumlah penduduk Muslim.
### Skema Waiting List: Apakah Benar-benar Adil?
Di sisi lain, ada argumen yang menolak skema waiting list sebagai metode yang adil. Secara historis, negara-negara anggota Organisation of Islamic Cooperation (OKI) telah sepakat pada tahun 1987 untuk menggunakan skema pembagian kuota haji berdasarkan jumlah penduduk Muslim dengan rasio 1000:1. Dengan menjalankan skema waiting list tanpa memperhitungkan faktor lain, calon jemaah haji akan tidak memiliki kepastian kapan mereka bisa berangkat.
### Ketidakpastian Masa Tunggu
Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa masa tunggu bervariasi setiap tahunnya dan sulit untuk diprediksi. Jumlah pendaftar di setiap daerah berpengaruh langsung pada lamanya antrian. Misalnya, jika Provinsi A memiliki kuota dasar 36.000 dan jumlah pendaftar sebanyak 108.000, maka masa tunggunya menjadi dua tahun. Namun, jika Provinsi B dengan kuota yang lebih kecil mengalami lonjakan pendaftar, mereka akan mengalami masa tunggu yang jauh lebih panjang.
Jika skema waiting list diterapkan, kuota dari Provinsi A yang seharusnya sudah berangkat bisa saja “dikesampingkan” untuk memenuhi kebutuhan Provinsi B yang masa tunggunya lebih lama. Ini jelas menciptakan ketidakadilan bagi jemaah yang sudah siap untuk berangkat.
### Alih Manajemen dan Moratorium Pendaftaran
Faktor lain yang patut dicermati adalah adanya risiko manajemen yang buruk jika skema waiting list diterapkan. Dalam menghadapi kompleksitas jamannya, solusinya bisa jadi adalah moratorium pendaftaran di daerah dengan antrian panjang, sementara tetap membukanya untuk daerah yang lebih cepat. Dengan cara ini, mencegah terjadinya “pembajakan” kuota.
Dengan penutupan pendaftaran pada daerah yang masa tunggunya lebih lama, ini tidak akan membuat calon jemaah yang sudah mendaftar merasa dirugikan, karena mereka sudah mengeluarkan biaya. Setelah situasi stabil, pendaftaran bisa dibuka kembali dengan batasan yang ketat.
### Meminta Tambahan Kuota
Sejak kesepakatan kuota haji yang ditetapkan oleh negara anggota OKI pada tahun 1987, belum ada pembaruan terkait jumlah penduduk Muslim. Ini adalah titik penting untuk bernegosiasi dengan pemerintah Saudi Arabia untuk meminta tambahan kuota. Jika proses diplomasi ini berhasil, maka pencarian kuota tambahan wajib didahulukan untuk daerah yang masa tunggunya lebih lama.
### Kesimpulan
Dengan menerapkan skema yang lebih transparan dan berkeadilan, kita bisa mendekati titik kesamaan masa tunggu di seluruh daerah. Jika dilakukan dengan tepat, maka keadilan di dalam sistem pembagian kuota haji akan terwujud.
Menghadapi ini semua, peran Kementerian Agama menjadi sangat vital untuk memastikan layanan yang optimal bagi semua jemaah. Melalui pengendalian jumlah pendaftar dan penegakan moratorium yang efisien, kita bisa mewujudkan skema haji yang berkelanjutan dan merata.
Terakhir, penting bagi kita untuk tetap memantau perkembangan kebijakan ini untuk memastikan bahwa ia dapat memenuhi harapan masyarakat. Jadi, jika Anda ingin merencanakan perjalanan Haji yang berkesan dan tidak terlupakan, sekarang adalah waktu yang tepat untuk memulai persiapan Anda.
Siap untuk Haji yang Tidak Terlupakan?
Kunjungi website kami untuk mendapatkan informasi lebih lanjut!
Prof. Dr. H. Nizar Ali, M.Ag.
Penulis adalah Rektor UIN Walisongo Semarang, Wakil Ketua Umum PBNU, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah tahun 2017-2020, dan Sekjen Kementerian Agama RI tahun 2020-2024.
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.



